Wednesday, April 3, 2013

Susu Menyebabkan Peradangan


Dikutip sesuai aslinya dari buku THE MIRACLE OF ENZYME: SELF-HEALING PROGRAM hal. 97-99, Hiromi Shinya, MD, Penerbit Qanita

Saya pertama kali mengetahui betapa buruknya efek susu bagi tubuh lebih dari 35 tahun lalu, ketika anak-anak saya sendiri menderita dermatitis atopik (radang kulit parah) pada usia enam atau tujuh bulan.

Sang ibu sudah menuruti segala instruksi yang diberikan oleh dokter anak, tetapi betapapun banyaknya perawatan yang mereka terima, radang kulit anak-anak sama sekali tidak membaik. Lalu, pada usia sekitar tiga atau empat tahun, putra saya mulai mengalami diare parah. Dan pada akhirnya, dia bahkan mulai mengeluarkan darah bersama kotorannya. Setelah memeriksanya dengan endoskop, saya menemukan bahwa si balita menunjukkan tanda-tanda awal kolitis ulserativa (radang parah dengan tukak di dalam usus besar).

Oleh karena tahu bahwa kolitis ulserativa berhubungan erat dengan makanan seseorang, saya pun memfokuskan pada jenis makanan yang biasa dimakan oleh anak-anak. Ternyata, tepat pada saat anak-anak mulai menderita dermatitis atopik, istri saya telah berhenti menyusui dan mulai memberi mereka susu di bawah pengarahan dokter anak. Kami pun menyingkirkan semua susu dan produk susu dari makanan anak-anak sejak saat itu. Tentu saja, kotoran berdarah dan diare, bahkan dermatitis atopik, semua menghilang.

Setelah mengalami hal ini, saat menanyakan kepada pasien-pasien saya tentang sejarah kebiasaan makan mereka, saya mulai mengumpulkan daftar lengkap berapa banyak susu dan produk susu yang mereka konsumsi. Menurut data klinis saya, terdapat kemungkinan besar terbentuknya kecenderungan timbulnya alergi dari mengonsumsi susu dan produk-produk susu. Hal ini sesuai dengan penelitian mengenai alergi baru-baru ini yang melaporkan bahwa jika wanita hamil minum susu, anak-anak mereka cenderung lebih mudah terjangkit dermatitis atopik.

JIKA WANITA HAMIL MINUM SUSU, ANAK-ANAK MEREKA CENDERUNG LEBIH MUDAH TERJANGKIT DERMATITIS ATOPIK (RADANG KULIT PARAH).

Selama 30 tahun terakhir di Jepang, jumlah pasien penderita dermatitis atopik dan alergi serbuk meningkat secara drastis. Jumlahnya pada saat ini mungkin hampir sebanyak satu dari setiap lima orang. Begitu banyak teori yang berusaha menjelaskan mengapa terjadi peningkatan yang begitu cepat dalam jumlah orang yang menderita alergi, tetapi saya percaya bahwa penyebab paling utama adalah diperkenalkannya susu dalam menu makan siang di sekolah pada awal era 1960-an.

Susu, yang mengandung banyak zat lemak teroksidasi, mengacaukan lingkungan dalam usus, meningkatkan jumlah bakteri jahat, dan menghancurkan keseimbangan flora bakteri dalam usus kita. Sebagai akibatnya, racun-racun seperti radikal bebas, hidrogen sulforida, dan amonia diproduksi dalam susu. Penelitian mengenai proses apa saja yang dialami racun-racun ini dan penyakit-penyakit jenis apa saja yang dapat timbul masih berlangsung. Namun, BEBERAPA HASIL PENELITIAN MELAPORKAN BAHWA SUSU TIDAK HANYA MENYEBABKAN ALERGI, TETAPI JUGA DIHUBUNGKAN DENGAN DIABETES PADA ANAK-ANAK. [Lihatwww.sciencenews.org/pages/sn_arc99/fob2.htm] Hasil penelitian ini tersedia di internet, maka saya menyarankan agar Anda membacanya sendiri.

ULASAN WIED HARRY:
Sisi lain susu bubuk/cair industri yang dipaparkan oleh DR. Hiromi Shinya sungguh memberikan pandangan berbeda dari keyakinan banyak orang selama ini bahwa “milk is a superfood (susu adalah segala-galanya)”. Akibat iklan yang ditiup-tiupkan kencang oleh industri susu, a.l. tentang pentingnya minum susu bagi ibu hamil, semakin banyak pasangan muda yang panik dan merasa wajib berburu susu ibu hamil ketika istri mulai mengandung.

Karena mulai banyak organisasi nirlaba yang membangunkan pentingnya kesadaran setiap ibu melahirkan agar menyusui bayinya dengan ASI hingga anak usia 2 tahun, industri susu semakin banyak kehilangan pangsa pasar. Semangat juang dan aksi gencar AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia), Selasi (Sentra Laktasi Indonesia), Komunitas MamaPerah, Komunitas Jogja Parenting, dan lain-lain agar para ibu menyusui, membuat industri susu harus mencari akal agar produknya tetap tersalurkan ke pasar. Jadilah mereka membangun banyak lini pemasaran baru sebagai strategi.

Jika Anda sedang ke pasar swalayan, luangkan waktu untuk “meneliti” merek-merek susu bubuk/cair industri, amati peruntukannya, dan lihat dengan seksama produsennya. Begitu banyak industri susu yang menarik minat beli masyarakat dengan menciptakan beragam produk “baru” (barang sama yang dibikin seolah-olah baru, dengan nama baru, kemasan baru, tag line baru, nutrition gimmick baru). Inilah yang bisa Anda temukan:

• Susu cair kemasan dengan beragam rasa dan warna – tentu semuanya menggunakan perasa sintetis dan pewarna sintetis. (Seorang pakar terapi nutrisi terkenal Indonesia berkomentar “Di Amerika ga ada lo susu warna-warni kayak di Indonesia. Adanya ya cuma susu plain, putih, aja.”)
• Susu untuk usia tertentu. Contohnya susu bayi, susu batita, susu balita, susu prasekolah, susu remaja, susu lansia, dll.
• Susu untuk kondisi tertentu dan/atau “mimpi” tertentu. Contoh susu ibu hamil (sudah ada yang menyediakan susu ibu hamil muda dan usia kehamilan selanjutnya), susu untuk pembentukan otot, susu antikeropos tulang, dll.

Nafsu besar merebut pasar juga dilakukan industri susu dengan strategi self-canibalism, yakni mencaplok potensi pasar sebesar-besarnya dengan membuat beragam produk yang seolah-olah berbeda. Tujuan awalnya adalah merebut rak pajang di pasar swalayan dan merebut perhatian calon konsumen kepada produk mereka. Caranya, satu produsen susu menciptkan lebih dari 1 merek berbeda. Misalnya, produsen A membuat susu bubuk/cair dengan merek dagang 111 dan merek 222. Agar ada pembeda produk, dibuatlah nutrition gimmick dan/atau marketing gimmick sedikit berbeda. Misalnya susu merek 111 ditambahi gimmick “Diperkaya AA & DHA”, dengan tag line “penting untuk kecerdasan anak”. Sedangkan susu merek 222 dibubuhi gimmick “High Calcium – Protein – Vit A & D3”, dengan tag line “tumbuh tinggi emang seru”.

Menjadi hak sepenuhnya bagi produsen untuk membujuk masyarakat. Namun sudah saatnya pula kita mengimbanginya dengan kecerdasan berstrategi yang sama canggihnya. Tanpa perlu antipati pada susu, saatnya kita menjadi lebih bijak dengan pengetahuan faktual baru tentang susu yang kita peroleh sekarang. Kita sudah semakin tahu bahwa “susu bukan superfood dan sama sekali bukan superfood”. Sebab, untuk menjadi cerdas maupun tumbuh tinggi (anak-anak), langsing berotot (penggila fitnes), dan tidak terkena keropos tulang (lansia), tidak harus dari susu kalengan/kemasan – karena beragam jenis bahan makanan segar alami sudah menyediakannya untuk kita!

Ilustrasi : ISTIMEWA




No comments:

Post a Comment