Sunday, March 17, 2013

SUSU LAGI, SUSU LAGI


Sekali lagi, para pecandu produk susu mohon tidak memprotes saya. Petikan berikut sepenuhnya saya kutip dari buku *The Microbes Factor: Mukjizat Mikroba* karya Hiromi Shinya, MD. hal. 105-110.

"... Saya telah menulis cukup banyak dlm buku2 saya berbahasa Jepang dan di *The Enzyme Factor* mengenai masalah pd produk susu, terutama bagi bangsa Jepang dan bangsa2 lain yg tidak bisa mengonsumsi susu. Selain intoleransi laktosa, saya jg menemukan makin banyak pasien dgn kerusakan usus besar spt kolitis ulseratif atau penyakit Crohn dan semacamnya, yg 30-40 tahun lalu jarang ditemukan. Mungkin penyakit2 yg tak bisa disebumbuhkan itu terkait dgn konsumsi makanan bersumber hewani spt susu, produk susu, dan daging. Alasan dugaan itu adalah krn sudah banyak kasus redanya gejala ketika pasien mengubah pola makan mereka, tidak lg makan makanan hewani dan beralih ke pola makan yg terdiri atas padi2an tak diolah, sayuran, dan buah.

Selain itu, banyak pula kasus di mana orang2 yg sudah menderita penyakit alergi spt sindrom usus sensitif, sembelit kronis, kotoran berbau sangat busuk, dermatitis atopik, dan semacamnya disarankan untuk mengubah pola makan dr makanan hewani ke makanan nabati, kemudian kondisi usus mereka menjadi baik dan gejala yg mereka alami reda tanpa perlu obat.

Sapi adalah hewan pemakan tumbuhan yg merumput di padang. Tp di peternakan pabrik sapi diberi pakan konsentrat, termasuk padi2an dan kacang2an yg bukan makanan pokok sapi. Agar menghasilkan banyak susu, sapi dimasukkan kandang dan tidak diberi kesempatan gerak badan. Kadang sapi diberi makanan hewani spt tepung ikan atau susu bubuk skim. Boleh dikata itu ibarat memberi makanan berkalori dan berprotein tinggi kpd anak2 yg cuma tinggal di rumah. Jika Anda mencoba berada di posisi mereka, maka Anda bakal berpikir bisa sakit akibat gaya hidup spt itu. Memang jumlah sapi perah yg mengalami berbagai penyakit spt hati berlemak, astatis postpartum, mastitis, gangguan reproduksi, dst telah meningkat dlm 10-15 tahun terakhir. Pergeseran abomasum (salah satu dari empat lambung sapi), satu penyakit khas sapi perah, jg makin sering terjadi.

Spt Anda ketahui, sapi itu binatang pemamah biak dan punya empat lambung. Tiga lambung pertama dianggap berkembang dari kerongkongan. Lambung pertama, yg paling besar, diketahui berfungsi memecah rumput yg sukar dicerna, dibantu mikroorganisme di dlmnya dan fermentasi. Bahan terfermentasi dicerna di lambung keempat, yg mengeluarkan getah lambung, dan kemudian dibawa ke usus. Pergeseran abomasum merujuk kpd penumpukan gas dlm lambung keempat akibat salah cerna di lambung pertama krn terlalu banyak pakan konsentrat. Banyak sapi perah jadi kehilangan selera dan tak mau makan. Jumlah susu yg dihasilkan menurun dan sapi jadi menderita berbagai penyakit kronis. Kadang dilakukan pembedahan ringan untuk mengembalikan keadaan lambung keempat.

Selain itu, sapi perah jg diinseminasi buatan hanya 60 hari setelah melahirkan, selagi masih menghasilkan susu. Sekarang, dg kemajuan teknologi peternakan, 99% sapi betina, termasuk sapi pedaging, menjalani proses inseminasi buatan, kehamilan, dan persalinan. Inseminasi buatan adalah proses biasa yg dianggap wajar oleh peternak susu, tp saya rasa kita hrs mempertanyakan apakah itu praktik yg dpt diterima atau tidak.

Alasan keprihatinan saya atas perkara tsb adalah krn sapi hamil tetap diperah. Kita sudah belajar bahwa susu sapi hamil (susu biasa untuk konsumsi) mengandung banyak hormon betina.

Persoalan hormon betina pd sapi hamil terangkat oleh riset Mr. Akio Sato, profesor kehormatan Universitas/Kolese Kedokteran Yamanashi. Menurut Mr. Sato, ketika sapi hamil, kadar hormon betina (estrogen, progestin) di darah naik dan hormon masuk ke susu. Hormon betina itu tidak rusak krn sterilisasi panas. Dg kata lain, banyak susu di pasar mengandung cukup banyak hormon betina, jauh lebih banyak daripada susu dari sapi yg tak hamil.

Sekarang, populasi orang yg mengonsumsi paling banyak susu adalah anak2 umur 7 sp 14, dan konon tiap anak mengonsumsi 320 ml susu (termasuk produk susu) tiap hari. Telah ditemukan bahwa susu di pasar mengandung 380 pikogram (1 pikogram = 1 per setriliun gram) estron sulfat, sejenis estrogen. Artinya anak2 yg belum mengalami pubertas rata2 sudah mendapat 120 nanogram (120.000 pikogram) estron sulfat. Itu lebih banyak daripada 40-100 nanogram hormon betina (estradiol, estrogen jenis lain lg) yg diproduksi tubuh anak2 itu sendiri sebelum pubertas. Ada sebagian orangtua yg mendorong anak mereka mengonsumsi satu liter susu per hari dg alasan "susu membuat badan sehat". Ketika produk susu spt keju, mentega, krim, yogurt, dan semacamnya dimasukkan jg, jumlah yg dikonsumsi lebih besar lg.

Hormon betina yg terkandung dlm susu dan produk susu berbeda dg zat kimia yg bertindak sbg hormon, atau yg disebut disrupter endokrin. Krn hormon betina sapi tadi adalah hormon betulan, maka pengaruhnya kpd badan jauh lebih kuat. Pendek kata, dg mengonsumsi banyak susu, yg dianggap sangat bergizi dan bermanfaat bagi kesehatan, anak2 yg belum mengalami pubertas mendapat terlalu banyak hormon betina. Termasuk anak laki2.

Apa pengaruhnya kelebihan hormon betina kpd akalbudi dan tubuh anak? Mr. Sato menunjukkan bahwa anak2 generasi baby boomers (sesudah Perang Dunia II) adalah generasi pertama di Jepang yg diberi susu bahkan sebelum lahir (lewat ibu) dan KEMAMPUAN REPRODUKSI mereka jauh lebih rendah. Contohnya, angka kehamilan pd usia subur (15-45) pd 2004, ketika generasi kedua baby boomer berumur dua puluhan, menunjukkan penurunan 50% dibanding angka kehamilan usia subur pd 1973, sekitar 30 tahun sebelumnya. Kita tak bisa menjelaskan perubahan itu dg sekadar menunjuk kpd perubahan nilai atau makin lambatnya orang menikah. Malah ada masalah ketidaksuburan yg tak wajar, misalnya OLIGOSPERMIA (sperma kurang). Boleh jadi susu bukan satu2nya penyebab segala persoalan itu, tp tak bisa kita sangkal bahwa pola makan gaya Barat yg mencakup susu telah berdampak berupa menurunnya kesuburan.

Selain itu, KANKER PAYUDARA, KANKER PROSTAT, KANKER INDUNG TELUR, KANKER RAHIM, dsb di negara2 maju jg makin banyak ditemui setelah tahun 1940-1950 ketika konsumsi besar2an susu dimulai. Lewat konsultasi pasien yg menghadapi kanker payudara atau kanker prostat, saya telah memastikan bahwa pasien2 tsb mengonsumsu susu, keju, yogurt, dan semacamnya setiap hari.

Saya pikir ilmu gizi masa kini, yg dibangun pd masa pasca-Perang Dunia II, perlu dirombak. Yg sudah saya kerjakan adalah merancang Biozim Shinya, yg didasarkan dp ilmu gizi enzim terbaru. Saya menyarankan metode tsb ke banyak orang, termasuk para pasien yg mendatangi klinik saya. Saya percaya sudah waktunya kita membuat ilmu gizi baru yg mengutamakan kesehatan tiap orang, sepenuhnya bebas dari kepentingan ekonomi produsen pangan. ..."

ULASAN WIED HARRY:
Tak perlu saya ulas lg, krn penjelasannya sudah sangat gamblang. Sekali lg saya TEKANKAN, susu sapi perah segar yg diproduksi dr sapi2 yg dipiara secara alami tidak termasuk dlm diskusi ini. Susu sapi perah segar artinya susu perah yg langsung dikonsumsi dg pemanasan minimal (dipanaskan di atas api kecil-sedang, sp berbuih pd bagian pinggiran susu - tidak sp bergolak mendidih). Pemanasan minimal memperkecil kerusakan enzim susu, yg membantu proses cerna susu itu sendiri.

Tergelitik jg menjawab tudingan "Pak Wied anti-susu dong!". Sama sekali saya tidak anti-susu. Anak2 kami sesekali masih mengonsumsi plain yogurt susu kambing atau bahkan susu bubuk (baik yg diminum langsung maupun dicampurkan ke dlm puding atau adonan kue kesukaan anak2). Tp itu jg belum tentu 3 bulan sekali, jika -dan hanya jika- mereka sedang kepingin saja.


No comments:

Post a Comment