Sunday, March 17, 2013

SUSU SAPI & HORMON BETINA


SELAMA ini banyak yang khawatir, terutama klien dan anggota milis, untuk memberikan susu kedelai kepada anak laki-lakinya. Takut nanti anaknya menjadi feminin, karena katanya susu kedelai mengandung hormon perempuan (estrogen). [Faktanya, kedelai memang mengandung hormon estrogen alami alias fitoestrogen. Namun kekhawatiran itu berlebihan, sejauh tidak mengonsumsi produk kedelai secara fanatik dan sangat berlebihan.] Namun anehnya, lha kok ya ndak ada yang memiliki kekhawatiran sama ketika memberikan susu sapi kepada anak laki-laki. Padahal, susu sapi juga sangat banyak mengandung hormon betina.

“… Sapi perah diinseminasi buatan hanya 60 hari sesudah melahirkan, selagi masih menghasilkan susu. Sekarang, dengan kemajuan teknologi peternakan, 99% sapi betina – termasuk sapi pedaging – menjalani proses inseminasi buatan, kehamilan, dan persalinan. Inseminasi buatan adalah proses biasa yang dianggap wajar oleh peternak sapi perah, tapi saya rasa kita harus mempertanyakan apakah itu praktik yang dapat diterima atau tidak.

Alasan keprihatinan saya atas perkara tersebut adalah karena SAPI HAMIL TETAP DIPERAH. Kita sudah belajar bahwa susu sapi hamil (susu biasa untuk konsumsi) mengandung banyak hormon betina.

Persoalan hormon betina pada sapi hamil terangkat oleh riset Mr. Akio Sato, profesor kehormatan Kolese Kedokteran Yamanashi. Menurut Mr. Sato, ketika sapi hamil, kadar hormon betina (estrogen dan progestin) di darah naik dan hormon masuk ke susu. Hormon betina ini tak rusak karena panas sterilisasi (WH: UHT). Dengan kata lain, banyak susu di pasar mengandung cukup banyak hormon betina, jauh lebih banyak daripada susu dari sapi yg tak hamil.

Sekarang, populasi orang yang mengonsumsi paling banyak susu adalah anak-anak usia 7-14 tahun, dan konon tiap anak mengonsumsi 320 ml susu (termasuk produk susu) tiap hari. Telah ditemukan bahwa susu di pasaran mengandung 380 pikogram estron sulfat, sejenis estrogen. Artinya, anak-anak yang belum mengalami pubertas rata-rata sudah mendapatkan 120 nanogram (120.000 pikogram) estron sulfat. Itu lebih banyak daripada 40-100 nanogram hormon betina (estradiol, estrogen jenis lain lagi) yang diproduksi tubuh anak-anak itu sendiri sebelum pubertas. Bahkan, justru ada sebagian orantua yang mendorong anak mereka mengonsumsi 1 liter susu per hari dengan alasan “susu membuat badan sehat”. Ketika produk susu seperti keju, mentega, krim, yogurt, dan semacamnya dimasukkan juga, jumlah hormon betina yang dikonsumsi lebih besar lagi.

Hormon betina yang terkandung dalam susu dan produk susu berbeda dengan zat kimia yang bertindak sebagai hormon, atau yang disebut disrupter endokrin. Karena hormon betina sapi tadi adalah hormon betulan, maka pengaruhnya kepada badan jauh lebih kuat. Pendek kata, dengan mengonsumsi banyak susu – yang dianggap sangat bergizi dan bermanfaat bagi kesehatan – anak-anak yang belum mengalami pubertas mendapat terlalu banyak hormon betina. Termasuk anak laki-laki.

Apa pengaruhnya kelebihan hormon betina kepada akalbudi dan tubuh anak? Mr. Sato menunjukkan bahwa anak-anak yang lahir setelah Perang Dunia II adalah generasi pertama di Jepang yang diberi susu, bahkan sejak sebelum lahir (lewat ibu hamil) dan KEMAMPUAN REPRODUKSI mereka jauh lebih rendah. Malah ada masalah ketidaksuburan yang tak wajar, misalnya OLIGOSPERMIA (sperma kurang). Boleh jadi susu bukan satu-satunya penyebab persoalan itu, tapi tak bisa kita sangkal bahwa pola makan gaya Barat yang mencakup susu telah berdampak berupa menurunnya kesuburan.

Selain itu, KANKER PAYUDARA, KANKER PROSTAT, KANKER INDUNG TELUR, KANKER RAHIM, dan sebagainya di negara-negara maju juga makin banyak ditemui setelah tahun 1940-1950 ketika konsumsi besar-besaran susu dan produk susu dimulai. Lewat konsultasi pasien yang menghadapi kanker payudara atau kanker prostat, saya telah memastikan bahwa pasien-pasien tersebut mengonsumsi susu, keju, yogurt, dan semacamnya setiap hari.

Saya pikir ILMU GIZI MASA KINI yang dibangun pada masa pasca-Perang Dunia II, PERLU DIROMBAK. Yang sudah saya kerjakan adalah merancang Biozim Shinya, yg didasarkan pada ilmu gizi enzim terbaru. Saya percaya sudah waktunya kita membuat ilmu gizi baru yang mengutamakan kesehatan tiap orang, SEPENUHNYA BEBAS DARI KEPENTINGAN EKONOMI PRODUSEN PANGAN. …”

[Dikutip dari buku *The Microbes Factor – MUKJIZAT MIKROBA*, Oleh Hiromi Shinya, M.D., Penerbit: Gramedia Pustaka Utama]

***

SUSU SAPI:
DARI SUDUT PANDANG FOOD COMBINING

BANYAK ALASAN mengapa susu sapi tidak cocok untuk manusia.

1. Proporsi protein, lemak, dan karbohidrat yang nyaris sama besar. Artinya ada 3 unsur gizi dominan dalam satu makanan. Sementara pencernaan manusia hanya mampu mencerna makanan yang memiliki satu unsur gizi dominan saja. Dan alam sudah mengatur ASI pun hanya memiliki satu unsur gizi dominan, yaitu karbohidrat.

2. Kadar kasein pada susu sapi yang 300% lebih tinggi daripada kasein dalam ASI. Kasein adalah salah satu protein dalam susu yang kental dan kasar sehingga terlalu berat untuk pencernaan manusia.

3. Hampir separuh populasi manusia di dunia tidak memiliki enzim laktase sejak usia muda sehingga tubuhnya tidak dapat mencerna laktosa atau gula susu sapi. Makanan yang tidak tercerna sebagaimana mestinya akan meninggalkan ampas yang bersifat toksin dan dapat menyebabkan alergi atau diare.

4. Kadar kalsium dan protein dalam susu sapi sama tinggi. Penyerapan kalsium memerlukan protein tetapi tidak sebanyak yang ada di susu. Protein tinggi akan meningkatkan keasaman tubuh dan menyebabkan kalsium rusak.

5. Proses pasteurisasi – terutama dengan UHT (ultra high temperature) – bukan hanya mematikan bakteri, tetapi juga menghancurkan sebagian besar vitamin dan enzim susu.

Saran saya, jika memang harus minum susu, jangan berlebihan. Susu juga bukan superfood. Sama seperti makanan lain, susu juga tidak mempunyai semua zat gizi yang kita butuhkan. Variasikan jenis makanan Anda setiap hari.

Salam FC: Andang Gunawan

[Dikutip dari Majalah NIRMALA Juni 2012, halaman 24]


No comments:

Post a Comment